Rabu, 27 Agustus 2008

Artikel

Dahulu saya berpikir bahwa mengatur keuangan adalah sekedar kepandaian seseorang untuk mengelola keuangannya agar tidak memiliki masa depan suram. Dan cara menyimpannya pun, hanya dalam bentuk investasi yang konvensional, seperti tabungan atau deposito. Cara berpikir demikian, sama halnya seperti saat saya menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah menerima ijasah Sekolah Menengah Atas. Kalau tidak menjadi dokter, ya Insinyur. Pilihan baku yang direstui orang tua tanpa harus bersilat lidah. Meski saya sendiri tak menyukai keduanya. Bukan karena ilmunya, tetapi kemampuan otak yang tak memungkinkan.
Saya masih ingat, kalau di masa itu seorang wanita bercita-cita menjadi peragawati, maka sudah dapat dipastikan pertarungan silat lidah akan segera muncul. Karena mereka berpikir itu pekerjaan haram. Wanita kok enggal-enggol dilihat orang. Memamerkan tubuh dan dipamerkan ke ruang publik. “Godaannya banyak, “kata orang tua. Padahal, mau jadi dokter kek, Insinyur kek, jualan pecel kek, godaan akan tetap ada. Orang tua saya mungkin lupa, kalau saya jadi dokter pun masih ada kemungkinan untuk tergoda dan digoda perawat, pasien atau teman sejawat. Mungkin karena berpikir kalau kemungkinan berbuat mesumnya sangat kecil. Padahal, bukan soal kemungkinannya yang besar atau yang kecil, tetapi apakah saya mau atau tidak mau menanggapi kemungkinan yang di depan mata.
Nah, dalam soal mengelola keuangan, ya…sami mawon. Saya mau membuang uang sampai bangkrut, atau mau menabung agar masa depan saya tak suram, itu semuanya saya yang menentukan. Beberapa tahun lalu, saya sudah diperingati, diberi saran dan gambaran oleh Pak Priyo Santoso, Direktur Utama Danareksa Investment Management, untuk mengatur keuangan saya. Apa hasilnya? Saya cuma manggut-manggut mendengar petuah mulianya di masa itu. Setelah saya mulai kelimpungan, maka saya baru mengikuti sarannya. Itupun baru sekitar setahun lalu.
Jadi, saya juga lah yang menentukan saya mau kelimpungan atau tidak. Mau kelimpungannya setahun atau 100 tahun, saya lah yang menentukan. Kapan saya mau mulai berinvestasi atau tak mau mulai-mulai, saya juga yang menentukan. Karena pihak kedua, ketiga atau keempat, bisa saja memberi petuahnya, tetapi keputusan tetap ada di tangan saya. Sekarang, ketika saya melakukan investasi dalam bentuk Reksa Dana, saya juga yang menentukan apakah saya mau bermain sebagai risk taker atau investor konservatif. Karena siapa lagi yang tahu kemampuannya sendiri, kalau tidak saya sendiri, bukan?
Maka kalau saya sudah mau menjadi seorang risk taker, yaa…siap menanggung segala resikonya. Karena saya tak bisa menjadi seorang risk taker dengan cara pandang seorang konservatif. Saya tak bisa mau untung besar, tetapi tak berani menanggung resikonya, dan mulai mengajukan sejuta pertanyaan, kok ini bisa gini, kok bisa gitu, kok bisa ginu. Itu namanya sak enake dewek.
Nah, permasalahannya adalah bagaimana saya bisa mengetahui siapa diri saya ini. Bagaimana saya bisa memiliki pilihan untuk memutuskan hal yang benar dari yang tidak benar, bagaimana saya mampu berinvestasi tanpa rasa kuatir, dan mampu menjadi risk taker tanpa menggunakan kacamata seorang yang konservatif? Saya harus mengakui bahwa saya bisa melakukan perubahan besar itu, kalau pertama, saya mau membenahi hubungan saya yang vertikal.
Dahulu saya tak percaya kalau hubungan yang vertikal itu, bisa mempengaruhi dan memberi bantuan yang signifikan kepada persoalan yang horizontal. Saya mengotak-kotakan, bahwa Sang Khalik itu hanya untuk hari Minggu saja. Untuk sebuah ritual keagamaan, titik. Saya sudah mengalaminya, mengalami sebuah kelahiran baru, dengan membenahi hubungan vertikal itu, dan hasilnya ruar biasya dahsyatnya. Terutama soal memiliki tanggung jawab atas berkat yang saya peroleh dari Sang Khalik. Oleh karena saya terlahir kembali, saya memiliki kacamata yang baru dalam memandang aspek kehidupan.
Karena selama saya masih memiliki kekuatiran, itu karena sejujurnya, saya tak tahu siapa diri saya yang sesungguhnya, saya tak tahu apa yang saya kehendaki. Terlahirkan kembali membuat saya terbebaskan dari belenggu. Ini mungkin yang dikatakan Born Free. Sama seperti terbebasnya negeri ini dari penjajajah, sehingga negeri ini memiliki satu hari untuk diperingati sebagai hari kemerdekaan. Saya menyarankan pada Anda, jangan menunggu terlalu lama untuk meraih atau menentukan hari kemerdekaan Anda sendiri. Jangan mau terlalu lama dijajah diri sendiri. Terutama dijajah kekuatiran Anda itu! Termasuk kuatir untuk berinvestasi.
Begini Caranya Terlahir Kembali
Benahi hubungan Anda secara vertikal secara total bukan partial. Secara permanen, bukan byar-pet, byar-pet seperti lampu yang sekarat.
Mengapa yang pertama adalah yang vertikal? Karena memiliki sebuah cara pandang benar itu bukan hanya persoalan IQ, tetapi juga mengenai kesehatan jiwa. Kalau hanya persoalan badaniah, itu tak masalah. Sakit perut tinggal minum obat, luka di lutut tinggal dikasih obat merah. Kena kanker ke dokter dan diterapi. Kalau game over atau selamat, itu sebuah perjalanan hidup. Tetapi menyembuhkan jiwa yang terluka, bukan persoalan dokter jiwa. They can not fix and heal the soul. Anda tahu siapa yang bisa melakukan itu. Melakukan investasi membutuhkan kematangan jiwa. Mau menjadi risk taker atau konservatif, juga membutuhkan itu. Jiwa yang terluka seperti tanah yang tak subur. Tanamannya bisa saja tumbuh dan berbuah. Tetapi tumbuh dan berbuah yang seperti apa? Karena kalau pun Anda pandai sekali berhitung, tetapi mungkin Anda hanya pandai semata tetapi tak punya nyali. Atau Anda memang manusia pengecut, atau mau aman saja. Ingin menikmati hasil seorang risk taker, tetapi mau resiko seorang konservatif. Masalah seperti ini, itu bukan soal IQ, tetapi soal kesehatan jiwa.
Sebelum Anda memutuskan mau kesana atau kemari, mau menyimpan uang Anda di instrument keuangan yang beraneka rupa, coba laporkan rencana Anda itu ke Atas terlebih dahulu. Dia yang menentukan hidup Anda, bukan Anda. Kalau tadi pagi Anda bisa bangun, dan membaca tulisan ini, itu bukan karena usaha Anda, bukan karena hebatnya perhitungan Anda, bukan juga karena Anda mau bangun atau tidak. Itu sebuah anugerah. Nah, kalau anugerah terpenting yaitu nyawa diberikan pertama-tama oleh Sang Khalik untuk Anda, bukankah seharusnya Anda mengembalikan rencana-rencana Anda ke Dia yang Maha Tahu itu di baris pertama?
(Samuel Mulia)