Selasa, 07 Oktober 2008

Singing in the Rain



Singing in the Rain



Sebelum menulis artikel mini untuk bulan ini, saya berpikir masak ada yang masih mau percaya sama tulisan ini untuk meyakinkan bahwa investasi harus tetap berjalan, setelah ‘banjir badang’ meluluhlantahkan perekonomian dunia. Dan menyisakan kebingungan, kemana lagi mengembangkan uang di kantong, supaya tetap tebal dan bertambah tebal. Apalagi judul artikel ini tampak seperti orang tak tahu diri.
Keyakinan yang berlebihan kata teman saya juga membahayakan. Masak bisa nari-nari dan bersukacita di tengah hujan. Kalau hujannya kecil dan membuat panas bumi khususnya di Jakarta, menjadi adem, dan tak membuat orang kelimpungan seperti teman saya yang kebanjiran, sehingga air masuk ke rumahnya dan merusak koleksi tas dan baju bermerknya, yaaa….itu disebut berkah. Tetapi bagaimana bisa bernyanyi kalau ada banjir badang?
Saya menulis artikel ini diketinggian tiga puluh tiga ribu kaki, dari liburan di pulau Dewata kembali ke dalam panasnya Jakarta, sambil ditemani makan pagi yang sama sekali tak menggairahkan. Keberadaan saya di dalam pesawat memberi inspirasi saya untuk mengaitkannya dengan tulisan bulan ini. Semoga terasa korelasinya, karena saya ini IQnya juga agak jongkok. Makin jongkok kalau di atas ketinggian seperti ini.
Sudah bertahun lamanya saya naik kapal terbang, dan selama itu saya tak pernah mengecek ke dalam cockpit, apakah ada pilot dan co-pilotnya. Saya hanya berasumsi bahwa mereka ada, tanpa melihat dengan mata kepala sendiri. Saya melatih untuk percaya pada sesuatu yang tak saya lihat, yang saya asumsikan ada. Kemudian saya bertanya mengapa saya bisa menggantungkan keyakinan pada sesuatu yang tak saya lihat, dan percaya bahwa dalam waktu satu jam setengah saya tiba di pulau dewata dari Jakarta? Mengapa keyakinan itu tak bisa saya terapkan pada Sang Khalik mengenai hidup saya, kondisi keuangan saya di masa depan? Bukankah kedua-duanya sama-sama tak terlihat?
Selama terbang, selalu saja ada kondisi dimana burung besi itu memasuki cuaca kurang baik. Ada turbulensi, yang bisa ringan tapi bisa berat seperti yang dialami salah satu maskapai penerbangan yang anjlok di atas Filipina, dan membuat dua penumpangnya patah tulang. Saat gangguan itu terjadi, mungkinkah saya mohon pertolongan pada pramugari atau berbicara dengan pilotnya, kalau saya ini takut, dan kemudian memintanya untuk menurunkan saya di Cirebon saja, karena perjalanan ke Denpasar dari Jakarta masih lama dan membuat jantung saya empot-empotan? Tidak bisa, bukan? Saya tetap harus ada diketinggian itu bersama semua awak pesawat dan penumpang, memasuki kawasan turbulensi itu. Tanpa protes. Ringan ataupun berat, bahkan dalam kasus ekstrim berakhir di dalam laut.
Dan saat turbulensi yang membuat jantung empot-empotan terjadi, saya hanya bisa melakukan dua hal. Mematuhi aturan main penerbangan, artinya saya harus mengikuti instruksi fasten your seat belt dan berdoa. Berdoa? Di atas ketinggian dan ketakutan, saya baru ingat berdoa. Saya baru melatih mulut saya komat kamit. Bahkan mungkin saya yang jarang membaca kitab suci ini, bisa tiba-tiba hafal semua ayat.
Di saat genting, saya baru ingat Sang Khalik. Selamatnya, Sang Khalik tidak protes atas kelakuan saya yang hanya menganggapNya seperti 911, hanya ingat kalau ada perlunya saja. Selamatnya lagi, Ia tak mengirimkan pelangi dengan tulisan besar di langit, ”Maksud Loh?”. Begitulah, saya tak pernah melibatkan Sang Khalik di dalam urusan duniawi termasuk saat saya berinvestasi.
Saya pikir dengan otak dan kemampuan berhitung dan forcasting, saya tak memerlukan petunjuk di Atas dan mematuhinya. Saya terlalu sombong, saya bahkan lupa kemampuan saya itu datangnya dari Sang Pencipta. Saya bahkan lupa kalau setiap pagi saya bisa bangun dan bernyawa, itu juga bukan karena hebatnya saya. Itu sebuah anugerah Sang Pencipta buat saya yang selalu mengaggapnya sebagai 911.
Saya lebih patuh kalau disuruh fasten your seat belt. Itu mengapa salah satu teman saya yang ahli keuangan pernah mengatakan di hari jatuhnya Lehman Brothers, dan ‘brother-brother’ yang lainnya, ia berkata “Doa, Sam. Doa”.
Maka berdoalah terlebih dahulu. Mintalah petunjuk Sang Pencipta apakah keputusan Anda itu direstui. Kemudian Anda tanya lagi, wah….repot kelamaan, tak ada jawaban. Saya dahulu seperti itu, tetapi sekarang saya melatih untuk mendengar, melatih untuk sering mengunjungiNya, sama seperti bertahun lamanya saya melatih kepala saya untuk percaya pada pilot yang tak pernah saya lihat, tak pernah saya kenal dan yang hanya saya asumsikan saja keberadaannya.
Saya selalu berpikir bertahun lamanya, bahwa Sang Pencipta dan Manajer Investasi itu, tak bisa dijadikan satu tim kuat, satu pasangan yang kokoh untuk membantu agar investasi saya berkembang dan subur dan bertambah tebal.
Saya selalu protes pada Sang Pencipta, mengapa keadaan keuangan saya seperti ini, mengapa saham anjlok, mengapa ini dan mengapa itu. Nurani saya kemudian bertanya, mengapa saya tak pernah protes ke kantor maskapai penerbangan, kalau selama perjalanan pesawatnya gonjang ganjing sehingga saya menjadi tidak nyaman dan deg-degan? Mengapa protes tak pernah terjadi, kalau menunya tidak enak, tak seperti restoran bintang lima? Mengapa saya diam saja dan mengatakan itu bukan salah maskapainya, itu salah udaranya.
Dan kalau saya dan Anda bisa seperti itu, maksud saya bisa bertahun lamanya naik kapal terbang dengan sejuta turbulensinya, dan diam saja dan tidak kapok naik pesawat, bahkan telah membaca ada yang nyungsep di dasar laut, maka judul artikel ini bisa Anda lakoni. Selamat benyanyi di hari kelabu!
Catatan Kaki:Ini pesan soal investasi dari manusia terkaya di dunia yang mampu menggeser kedudukan Bill Gates selama tiga belas tahun, Pak Warren Buffett. "You should look at stocks as small pieces of business. Look at market fluctuations as your FRIEND rather than your ENEMY.""When PROPER temperament joins with PROPER intellectual framework, then you get rational behavior."