Minggu, 05 Oktober 2008

Bearish, Feeling, dan Perang Gerilya

Bearish, Feeling, dan Perang Gerilya

“Dulu, pemain saham paling idiot pun bisa untung. Sekarang, seorang Jesse Livermore sekalipun pasti buntung.”

Itulah anekdot yang sering dilontarkan para investor pasar modal domestik untuk menggambarkan betapa sulitnya mengikuti pegerakan harga saham saat ini.

Dalam kondisi pasar yang tidak menentu seperti sekarang, siapa pun memang bisa dibuat frustrasi. Jangankan investor, para analis dan pengamat pasar modal saja kini sering memberikan panduan yang salah tentang harga saham.

Maka sah-sah saja jika kemudian muncul lelucon bahwa jika Jesse Livermore masih hidup, pialang saham legendaris yang bunuh diri 40 tahun silam itu tetap saja tak bakal berdaya menghadapi situasi pasar modal saat ini.

Ketikdakpastian memang sedang menyergap seluruh pasar modal di dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, menyusul terjadinya gejolak pasar finansial global yang dipicu kejatuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), kondisi pasar modal Indonesia lebih ‘tak jelas juntrungannya.’

Dalam beberapa pekan terakhir, misalnya, gerak-gerik indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) cenderung anomali. Ketika indeks saham di bursa lain menguat, IHSG malah melempem.
Pertanyaan besarnya, apa yang harus dilakukan investor pasar modal dalam kondisi demikian?

Strategi
Dalam acara Kongko-kongko Pialang Efek; Tipikal Investor Pasar Modal Indonesia, di Jakarta, beberapa waktu silam, para pelaku pasar modal memberikan sejumlah tips agar investor tidak tergelincir di lantai bursa yang kian licin. Salah satunya adalah menerapkan strategi serang dan menghindar (hit and run) saat pasar lesu (bearish).

”Pada masa bearish, kenaikan harga saham sangat terbatas. Jadi, jangan greedy. Terapkan strategi ’perang gerilya’,” ujar praktisi pasar modal Soeratman.

Tips yang diberikan konsultan Air Asia itu sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang baru. Dalam analisa perdagangan saham ada yang disebut dead cat bounce yang secara langsung dapat diterjemahkan sebagai ‘mental kucing mati’.

Dead cat bounce menggambarkan pemulihan harga sementara pasar atau saham di tengah penurunan berkepanjangan (bear market). Dengan kata lain, penguatan kembali (rebound ) yang dialami pasar atau suatu saham setelah mengalami kejatuhan harga, sebenarnya hanya sementara karena pasar atau saham tersebut masih akan terus jatuh.

Nah, dalam kondisi demikian, investor ‘diharamkan’ mengoleksi saham terlalu lama. Berarti, investor harus cepat-cepat melepas saham sebelum harganya jatuh lebih dalam.

Jika Soeratman menganjurkan strategi ‘perang gerilya’, pengamat pasar modal Dandossi Matram lebih menekankan kejelian investor dalam memahami karakter pasar. “Investor harus piawai membaca faktor fundamental. Faktor teknikal memang penting, tapi fundamentalnya harus paham. Faktor teknikal saja bisa menyesatkan,” papar Dandossi.

Masih Rentan
Masalahnya, investor pasar modal domestik, terutama investor individu, memiliki karakter yang khas. Mereka umumnya rentan terhadap rumor dan lebih banyak mengandalkan faktor teknikal ketimbang faktor fundamental sebagai bahan pertimbangan membeli atau menjual saham.

Sebagian investor individu lokal juga mudah panik dalam menyikapi fluktuasi harga saham. Mereka seringkali mengambil posisi tepat saat membeli, tapi salah dalam menjual. Itu terjadi karena mereka tidak memahami karakter pasar. ”Makanya, pasar modal kita masih dikesankan sebagai arena judi,” tutur Soeratman.

Kecuali tak memahami karakter pasar, banyak investor individu domestik yang cuma mengandalkan perasaan (feeling) dalam merespons fluktuasi harga saham. Padahal, jika hanya mengandalkan feeling, “Mereka bisa menjadi bulan-bulanan pasar,” ujar praktisi pasar modal dari ECM Danareksa Sekuritas Tonny Kisdhihartono.

Memang betul, perilaku sebagian investor lokal itu berkaitan langsung dengan rendahnya pengetahuan mereka tentang pasar modal. “Banyak pemain individu kita tidak terdidik, sehingga mudah stres dan salah mengambil keputusan. Mereka lebih mengedepankan rumor ketimbang analitis,” kata Kabag KSI dan Humas Bapepam-LK Gonthor Ryantori Aziz.

Boleh jadi, karena itulah, jumlah investor pasar modal domestik masih sangat minim. Sebagai perbandingan, investor domestik di pasar modal Singapura mencapai 1,3 juta atau 30% dari populasi penduduk, sedangkan di Australia 7 juta (25%), Hong Kong 1,4 juta (17,5%), Malaysia 3 juta (12,8%), dan Jepang 4 juta (8,2%).

Adapun pasar modal Indonesia baru punya sekitar 600 ribu investor domestik. Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, tentu jumlah itu masih sangat kecil.

Faktanya, pergerakan harga saham di BEI selama ini juga disetir investor asing. Investor domestik biasanya hanya menjadi ‘pengekor’. Apalagi kepemilikan aset saham investor asing masih dominan.

Berdasarkan data The Central Book Entry Settlement System (C-Best) Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), total kepemilikan aset saham investor asing hingga 31 Juli 2008 mencapai Rp 700,13 triliun (64%), sedangkan aset saham investor lokal berjumlah Rp 389,55 triliun (36%).

Dalam konteks ini, tentu saja edukasi dan sosialisasi tentang pasar modal sangat penting. “Ini ‘PR’ bagi segenap stakeholders,” tandas Gonthor.

Apakah itu bisa menjadi jaminan bahwa dalam kondisi pasar yang tidak menentu seperti sekarang investor bisa mendulang untung? Tentu saja tidak. Sebab dalam berinvestasi di pasar modal, investor sejatinya berhadapan dengan ‘kemungkinan’, bukan ‘kepastian’. (abdul aziz)